Polemik Proyek Ratusan Vila di Pulau Padar: Warga Merasa Tersisih Setelah Bertahun-Tahun Terpinggirkan
Warga Tolak Rencana Pembangunan 448 Vila di Pulau Padar, Kekhawatiran terhadap Ekosistem dan Mata Pencaharian
Sejumlah warga dan pelaku usaha di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, menolak rencana pembangunan 448 vila di Pulau Padar. Kekhawatiran mereka berpusat pada potensi kerusakan ekosistem, hilangnya mata pencaharian, hingga ancaman terhadap habitat satwa endemik komodo. Di sisi lain, pemerintah menyatakan proyek tersebut akan berada di bawah pengawasan ketat.
Bagi sebagian warga, izin pembangunan ratusan vila di Pulau Padar selama bertahun-tahun dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah. Pelaku wisata juga mengkhawatirkan bahwa proyek skala besar ini bukan hanya dapat mengancam keberlangsungan habitat komodo, tetapi juga meminggirkan pelaku usaha lokal secara perlahan.
Pada September 2024, Siti Nurbaya, yang saat itu menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menerbitkan Surat Keputusan Nomor SK.796/Menhut-I/2014. Surat tersebut memberikan izin kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) untuk mengelola usaha penyediaan sarana wisata alam di Pulau Padar. Perusahaan itu mendapatkan hak pengelolaan lahan seluas 274,13 hektare, atau sekitar 19,5 persen dari total luas pulau.
Menanggapi gelombang protes warga, Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Hendrikus Rani Siga, menyebut bahwa area yang akan dibangun hanya mencakup 5,64 persen dari total lahan yang diizinkan.
Pada Juli lalu, Kementerian Kehutanan menggelar konsultasi publik untuk membahas dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terkait rencana investasi PT KWE di Pulau Padar.
Bagi sebagian warga, konsultasi publik tersebut justru menjadi “berkah terselubung” karena memberi gambaran jelas mengenai skala pembangunan yang direncanakan. Pegiat lingkungan Venan Haryanto mengungkapkan, sebelumnya masyarakat hanya bisa menebak-nebak. “Dari dulu kami hanya mereka-reka saja, apa sebenarnya rencana PT KWE. Ternyata pembangunannya memang sangat masif,” ujarnya.
Pulau Padar sendiri merupakan salah satu ikon utama di Taman Nasional Komodo. Keindahannya terkenal berkat pantai berpasir pink—salah satu dari hanya dua pantai serupa di taman nasional tersebut—serta pemandangan matahari terbit dan terbenam yang memukau. Pulau ini tidak berpenghuni, namun menjadi habitat alami bagi 31 ekor komodo, berdasarkan data Balai Taman Nasional Komodo per 2024.
Rasa Ketidakadilan di Tengah Warga
Secara regulasi, konsultasi publik seharusnya menjadi forum bagi perusahaan dan masyarakat untuk membicarakan potensi dampak lingkungan dari suatu proyek. Namun pada pelaksanaannya, banyak warga memilih tidak hadir sebagai bentuk penolakan.
Alimudin, salah satu warga, menyatakan kekecewaannya. Ia menilai pemerintah tidak berlaku adil karena hanya memberikan lahan sekitar 27 hektare bagi 2.000 warga Desa Komodo, sementara perusahaan memperoleh lahan sepuluh kali lipat lebih luas. “Bagaimana masyarakat tidak sakit hati. Ini jelas ketidakadilan agraria yang kami rasakan,” ujarnya, Minggu (03/08).
Sejak Taman Nasional Komodo dideklarasikan pada 1980, berbagai penelitian mencatat bahwa warga lokal telah beberapa kali mengalami eksklusi atau penyingkiran. Alimudin menceritakan bahwa masyarakat sebelumnya memiliki perkebunan sentral di Loh Liang, Pulau Komodo. Namun, demi kepentingan konservasi, pemerintah memindahkan mereka.
Salah satu peristiwa pemindahan terjadi pada 2001, ketika otoritas merevisi aturan zonasi taman nasional. Wilayah tangkap nelayan Desa Komodo di perairan Loh Liang diubah menjadi zona wisata laut, sehingga nelayan kehilangan akses menangkap ikan.
Berkembangnya industri pariwisata juga membuat nelayan kehilangan akses ke dermaga karena pengelolaan beralih kepada pemilik resor. Akibatnya, sebagian nelayan beralih mengubah perahu penangkap ikan menjadi kapal wisata. Meski demikian, mereka sulit bersaing dengan pemilik kapal modern yang memenuhi standar keamanan wisata.
Polemik Lama yang Pernah Mencapai Jakarta
Pada 2019, Viktor Laiskodat yang saat itu menjabat Gubernur NTT, sempat berencana menutup Taman Nasional Komodo dan memindahkan warga dari kawasan tersebut. “Karena namanya Pulau Komodo, maka kita harus mengatur agar pulau itu betul-betul hanya terisi komodo, tidak boleh ada manusia yang lain,” ujarnya.
Rencana itu memicu gelombang penolakan. Warga bahkan menggelar aksi protes hingga ke Jakarta. Pada akhirnya, Viktor membatalkan rencana penutupan kawasan dan pemindahan penduduk.
“Warga tidak diberikan apapun di atas lahannya, padahal setiap warga negara berhak atas tanahnya,” kata Alimudin. Ia menegaskan bahwa keberadaan masyarakat Komodo sudah ada jauh sebelum negara berdiri. “Negara ini kan baru muncul belakangan. Orang Komodo itu sudah ada di tanah ini sebelum negara ini ada,” tuturnya.
Pembangunan Belum Dimulai, AMDAL Masih Disusun
Direktur Konservasi Kawasan Kementerian Kehutanan, Sapto Aji Prabowo, menyatakan bahwa hingga saat ini PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) masih berada pada tahap penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Pernyataan tersebut dikutip dari siaran pers Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) yang dirilis pada 23 Juli lalu.
Sapto menjelaskan bahwa hasil kajian AMDAL akan disampaikan kepada UNESCO sebelum proses pembangunan benar-benar dimulai. Izin pengelolaan yang dimiliki PT KWE berlaku selama 55 tahun, dengan izin pembangunan tahap pertama dikeluarkan pada 2020.
Pada 2021, pemerintah mewajibkan perusahaan tersebut menyusun AMDAL dan melakukan konsultasi untuk setiap rencana pembangunan kepada Komite Warisan Dunia atau International Union for Conservation of Nature (IUCN).
ASITA Mengaku Tidak Diundang ke Konsultasi Publik
Berbeda dengan warga Komodo yang memilih tidak hadir dalam konsultasi publik sebagai bentuk penolakan, Asosiasi Agen Tur dan Perjalanan (ASITA) Manggarai Raya justru mengaku tidak pernah menerima undangan resmi. Sekretaris Dewan Perwakilan Cabang ASITA Manggarai Raya, Getrudis Naus, menyebut nama organisasinya tercantum dalam daftar peserta, namun tidak ada satu pun perwakilan yang hadir.
Getrudis menegaskan bahwa, layaknya masyarakat Komodo, pihaknya juga merasakan ketidakadilan. Selama ini ASITA selalu mengikuti aturan yang berlaku di kawasan taman nasional demi alasan konservasi dan menjaga keberlangsungan destinasi wisata. Namun, menurutnya, pemerintah kini justru membuka peluang bagi investor besar untuk membangun proyek skala besar di kawasan konservasi.
“Di mana letak konservasi itu ketika wilayah diberikan untuk membangun fasilitas semewah itu? Ini bukan hanya mengancam habitat komodo, tetapi juga membunuh masyarakat Flores secara keseluruhan,” ujarnya.
BBC telah meminta tanggapan dari Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Satyawan Pudyatmoko, terkait tudingan ini. Satyawan meminta agar pertanyaan dialamatkan kepada Nandang Prihadi, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi. Hingga berita ini ditulis, Nandang belum memberikan jawaban.
Getrudis juga mempertanyakan alasan pembangunan harus dilakukan di dalam kawasan taman nasional. “Kenapa harus rebut Taman Nasional Komodo? Lahan di Labuan Bajo masih luas. Golo Mori itu, mungkin ada ratusan hektare yang belum dimanfaatkan,” ucapnya, merujuk pada sebuah desa perbukitan di selatan Labuan Bajo yang berjarak sekitar satu jam perjalanan darat.
Kekecewaannya semakin dalam karena ia merasa perjuangannya selama ini untuk melindungi pariwisata justru dibalas dengan kebijakan yang memberatkan. Pada 2009, Getrudis pernah ikut menentang tambang emas di Batu Gosok yang dikhawatirkan merusak lingkungan. Wilayah tersebut saat itu dikenal sebagai lokasi wisata dengan perairan yang menjadi favorit penyelam dan wisatawan snorkeling.
Pada 2022, ia kembali menjadi salah satu figur yang menolak kenaikan harga tiket masuk Pulau Komodo dan Pulau Padar sebesar Rp3,7 juta per orang. Gelombang penolakan itu akhirnya membuat pemerintah membatalkan kebijakan tersebut.
“Begitu kami sudah nyaman di dunia pariwisata, kenapa psikis kami selalu diganggu? Bukannya mengatur regulasi supaya nyaman dan aman, malah kami harus berhadapan dengan investor. Sakit sekali rasanya,” keluh Getrudis.
Isi Dokumen AMDAL Proyek Vila di Pulau Padar
BBC memperoleh salinan dokumen AMDAL PT KWE yang disusun tim ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Juli lalu. Dalam dokumen tersebut, tercatat berbagai potensi masalah yang dapat muncul selama proyek berlangsung, salah satunya gangguan terhadap komodo.
Pembangunan sarana dan prasarana di lembah-lembah yang menjadi habitat utama komodo dikhawatirkan akan menghambat pergerakan satwa tersebut. Limbah dapur dari penginapan juga berpotensi membuat komodo terbiasa mencari makan di lokasi pembuangan sampah. Aktivitas pekerja dan proses konstruksi diperkirakan akan mengganggu perilaku alami komodo, seperti bersarang dan mencari makan.
Untuk mengurangi risiko tersebut, PT KWE berencana membangun fasilitas dengan sistem panggung (elevated) agar tidak menghalangi pergerakan satwa. Perusahaan juga akan menyusun prosedur operasional standar (SOP) bagi pekerja untuk menjaga keselamatan komodo dan satwa liar lainnya, serta membangun sistem penyimpanan dan pembuangan sisa makanan agar tidak menarik perhatian satwa berbahaya.
Pekerja diwajibkan menghentikan aktivitas jika pembangunan melintasi atau berada di dekat sarang komodo, dan segera melaporkannya kepada pihak Balai Taman Nasional.
Selain dampak ekologis, dokumen AMDAL juga menyoroti potensi konflik sosial. Masyarakat Desa Komodo disebut merasa paling berhak mendapatkan prioritas kerja di PT KWE dibandingkan desa lain seperti Papagarang dan Pasir Panjang. Lahan usaha warga di Long Beach 1, Long Beach 2, Long Beach 3, dan Pink Beach juga terancam ditutup.
Sebagai langkah mitigasi, PT KWE merencanakan SOP penerimaan tenaga kerja yang mengutamakan warga sekitar, serta melakukan sosialisasi terkait peluang ekonomi dari pembangunan. Balai Taman Nasional Komodo juga diharapkan aktif dalam penataan ulang pengelolaan Long Beach yang melibatkan PT KWE dan masyarakat.
Pemerintah Dianggap Tak Mendengar Suara Publik
Sejak konsesi di kawasan Taman Nasional Komodo diberikan kepada beberapa perusahaan pada 2014, penolakan dari warga dan pelaku usaha tidak pernah surut. Pegiat lingkungan Venan Haryanto menilai kebijakan ini bertentangan dengan prinsip konservasi.
“Suara penolakan publik sudah tidak lagi sekadar soal prosedur. Seluruh rencana investasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, ditolak total,” tegasnya.
Venan memaparkan tiga dampak besar yang dikhawatirkan. Pertama, dampak lingkungan akibat pembangunan 619 fasilitas, termasuk 448 vila, di lahan hampir 300 hektare yang akan mengubah ekosistem setempat. Selain mengancam habitat komodo, pembangunan juga berpotensi merusak terumbu karang, padang lamun, populasi penyu, dan hutan bakau.
Kedua, dampak sosial yang memungkinkan masyarakat di dalam kawasan taman nasional tersingkir sewaktu-waktu, mengingat secara regulasi tanah yang mereka tempati adalah milik negara. Meski tidak ada warga yang menetap di Pulau Padar, sebagian masyarakat menggantungkan mata pencaharian dari usaha warung di Long Beach dan Pink Beach.
Ketiga, dampak ekonomi yang dinilai dapat merugikan pelaku wisata lokal. Menurut Venan, pembangunan di Pulau Padar berpotensi memicu monopoli bisnis, merusak “jantung destinasi” wisata, dan menghancurkan narasi keberlanjutan yang selama ini dipegang masyarakat.
“Alih-alih menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, pelaku wisata lokal justru akan berada pada posisi yang sangat berisiko,” ujarnya.
Harapan Terakhir pada UNESCO
Kelompok warga, pelaku usaha lokal, dan pegiat lingkungan di Taman Nasional Komodo kini menggantungkan harapan pada Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Alimudin bersama sejumlah kelompok warga Komodo berencana mengirimkan surat penolakan resmi kepada UNESCO. Wacana serupa juga disampaikan oleh Asosiasi Agen Tur dan Perjalanan (ASITA) Manggarai Raya.
“Bola panasnya sekarang ada di UNESCO,” ujar pegiat lingkungan, Venan Haryanto.
Taman Nasional Komodo telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1991. Status tersebut membawa konsekuensi besar: setiap bentuk pengelolaan dan pembangunan di kawasan ini harus mematuhi kewajiban internasional. Salah satu kewajiban utama adalah menjaga Outstanding Universal Value (OUV) atau Nilai Universal Luar Biasa—dalam konteks ini, perlindungan terhadap habitat alami komodo.
Selain itu, pengelolaan taman nasional harus memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan. Evaluasi dan peninjauan atas prinsip ini dilakukan secara berkala oleh UNESCO bersama Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Dalam dokumen resmi Nomor WHC/25/47.COM/7B yang diterbitkan usai Pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO di Paris, Prancis, pada 6–16 Juli lalu, terdapat sejumlah catatan yang memicu kekhawatiran lembaga internasional tersebut.
Komite menyoroti hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pada rencana induk pembangunan infrastruktur di kawasan, yang mengungkap adanya potensi dampak negatif terhadap OUV. Indonesia diminta menimbang secara serius dampak-dampak tersebut sebelum mengambil keputusan yang sulit untuk dibatalkan.
UNESCO juga menegaskan agar pemerintah tidak memberikan persetujuan bagi proyek atau konsesi apa pun jika penilaian dampak lingkungannya belum memadai dan berpotensi merusak nilai universal luar biasa dari Taman Nasional Komodo.
Posting Komentar