-->

Israel Resmi Setujui Rencana Netanyahu Ambil Alih Kota Gaza – Semua yang Terungkap Sejauh Ini




Kabinet Keamanan Israel Setujui Rencana Pengendalian Kota Gaza


Kabinet Keamanan Israel secara resmi menyetujui rencana untuk mengambil kendali atas Kota Gaza. Informasi ini disampaikan langsung oleh kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Sebelumnya, Netanyahu telah mengutarakan keinginannya untuk menguasai seluruh wilayah Gaza. Namun, rencana yang baru saja mendapatkan persetujuan ini berfokus secara spesifik pada Kota Gaza—wilayah metropolitan terbesar di jalur tersebut yang menjadi tempat tinggal ratusan ribu penduduk.

Berdasarkan laporan koresponden BBC di Timur Tengah, langkah pengambilalihan Kota Gaza diperkirakan akan menjadi fase awal dari strategi yang lebih luas, yaitu penguasaan penuh atas seluruh wilayah Gaza.

Eskalasi ini menuai penolakan di dalam negeri Israel. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, turut memberikan tanggapan kritis terhadap peningkatan serangan militer Israel di Gaza. Ia menyebut langkah tersebut sebagai “langkah yang salah” dan menegaskan bahwa tindakan tersebut “hanya akan membawa lebih banyak pertumpahan darah.”

Di sisi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan peringatan keras bahwa perluasan operasi militer Israel berisiko “menimbulkan konsekuensi bencana” bagi warga sipil Palestina maupun sandera asal Israel yang masih berada di wilayah tersebut.

Pemerintah Israel saat ini juga membatasi akses liputan bagi organisasi berita internasional, termasuk BBC, sehingga peliputan di wilayah Gaza tidak dapat dilakukan secara bebas.


Kabinet Keamanan Israel Setujui Rencana Pengendalian Kota Gaza


Kabinet Keamanan Israel secara resmi menyetujui rencana untuk mengambil kendali atas Kota Gaza. Informasi ini disampaikan langsung oleh kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Sebelumnya, Netanyahu telah mengutarakan keinginannya untuk menguasai seluruh wilayah Gaza. Namun, rencana yang baru saja mendapatkan persetujuan ini berfokus secara spesifik pada Kota Gaza—wilayah metropolitan terbesar di jalur tersebut yang menjadi tempat tinggal ratusan ribu penduduk.

Berdasarkan laporan koresponden BBC di Timur Tengah, langkah pengambilalihan Kota Gaza diperkirakan akan menjadi fase awal dari strategi yang lebih luas, yaitu penguasaan penuh atas seluruh wilayah Gaza.

Eskalasi ini menuai penolakan di dalam negeri Israel. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, turut memberikan tanggapan kritis terhadap peningkatan serangan militer Israel di Gaza. Ia menyebut langkah tersebut sebagai “langkah yang salah” dan menegaskan bahwa tindakan tersebut “hanya akan membawa lebih banyak pertumpahan darah.”

Di sisi lain, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan peringatan keras bahwa perluasan operasi militer Israel berisiko “menimbulkan konsekuensi bencana” bagi warga sipil Palestina maupun sandera asal Israel yang masih berada di wilayah tersebut.

Pemerintah Israel saat ini juga membatasi akses liputan bagi organisasi berita internasional, termasuk BBC, sehingga peliputan di wilayah Gaza tidak dapat dilakukan secara bebas.

Reaksi Warga Palestina terhadap Rencana Netanyahu





Bagi warga Palestina di Gaza, rencana tersebut menambah ketidakpastian dan rasa kehilangan yang sudah mereka alami selama berbulan-bulan.

“Seolah-olah tidak ada lagi yang bisa ditempati sejak awal,” ujar Mahmoud al-Qurashli kepada kantor berita Reuters dari Kota Gaza. Menanggapi rencana Netanyahu untuk menguasai penuh wilayah tersebut, ia menambahkan, “Hampir seluruh Gaza telah terhimpit di bagian barat Kota Gaza, dan hanya itu yang tersisa. Saat ini, bagi rakyat, tidak ada lagi perbedaan—apakah ia akan mendudukinya atau tidak.”

Raed Abu Mohammed, yang telah tinggal di tenda pengungsian selama lima bulan, mengatakan bahwa mereka mulai terbiasa dengan kondisi tersebut. “Ya, ada penderitaan, ya, ada kematian—ya. Tapi kami masih berjuang untuk hidup, berjuang untuk hidup. Israel tidak membunuh Hamas. Israel membunuh warga sipil, anak-anak, perempuan.”

Ismail al-Shawish menegaskan bahwa “tidak ada cara untuk bertahan hidup, tidak ada tanda-tanda kehidupan.” Ia mengungkapkan bahwa kebutuhan dasar tidak tersedia dan situasi di Gaza “semakin buruk.” Ia menyerukan adanya gencatan senjata, bukan pendudukan, demi “perdamaian dan keamanan.”

Seorang jurnalis Palestina di Kota Gaza, Ghada Al Kurd, mengaku khawatir terhadap rencana Israel untuk menduduki seluruh wilayah tersebut. Dalam wawancara dengan program Radio 4 PM, ia menyebut rencana itu membuat warga “tidak punya pilihan” dan “tidak ada tempat untuk pergi.” Menurutnya, hal ini akan memaksa mereka mengungsi lagi ke lokasi yang tidak diketahui.

Al Kurd menjelaskan bahwa sebagian besar wilayah Gaza telah “hancur total” dan masyarakat kini “menderita kelaparan” hingga terlalu lemah untuk berjalan. Saat ditanya apa yang akan dilakukan jika diperintahkan mengungsi, ia menjawab, “Kami tidak punya pilihan.” Ia memperkirakan pendudukan hanya dapat terjadi melalui operasi militer dan pengeboman.

“Saya rasa kami harus pergi hanya untuk menyelamatkan hidup kami, tapi ke mana, bagaimana caranya?” ujarnya. Mengenai kehadiran Hamas di Kota Gaza, Al Kurd mengatakan tidak dapat menyangkal bahwa kelompok tersebut masih memiliki “pengaruh di lapangan.”



Kabinet Keamanan Israel Setujui Rencana Pengendalian Kota Gaza


Kabinet Keamanan Israel secara resmi menyetujui rencana untuk mengambil kendali atas Kota Gaza. Informasi ini diumumkan oleh kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Jumat (08/08) pagi, usai pertemuan kabinet keamanan yang berlangsung selama beberapa jam di Yerusalem.

Sebelumnya, Netanyahu telah mengutarakan niatnya untuk menguasai seluruh wilayah Gaza. Namun, rencana yang baru saja disahkan ini berfokus secara khusus pada Kota Gaza—wilayah metropolitan terbesar di Jalur Gaza yang menjadi tempat tinggal ratusan ribu penduduk. Berdasarkan laporan koresponden BBC di Timur Tengah, pengambilalihan Kota Gaza diperkirakan akan menjadi fase awal menuju penguasaan penuh atas seluruh wilayah Gaza.

Isi Rencana Netanyahu di Kota Gaza





Dalam wawancara dengan Fox News, Netanyahu menjelaskan bahwa tujuan utama Israel adalah menyingkirkan Hamas dari Kota Gaza, membebaskan penduduknya, dan kemudian menyerahkan kendali kepada pemerintahan sipil yang bukan Hamas maupun pihak yang menyerukan penghancuran Israel.

“Kami ingin membebaskan diri kami sendiri dan membebaskan rakyat Gaza dari teror mengerikan Hamas,” ujarnya. Netanyahu menegaskan bahwa Israel tidak berniat mempertahankan atau mengatur Kota Gaza secara langsung, namun ingin memastikan adanya perimeter keamanan.

Rencana yang disetujui kabinet tersebut diadopsi melalui pemungutan suara mayoritas dan memuat lima prinsip untuk mengakhiri perang:

  • Pelucutan senjata Hamas.
  • Pemulangan semua sandera, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.
  • Demiliterisasi Jalur Gaza.
  • Kontrol keamanan Israel atas Jalur Gaza.

Keberadaan pemerintahan sipil alternatif yang bukan Hamas atau Otoritas Palestina.

Pernyataan resmi juga menyebutkan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan bersiap mengambil kendali atas Kota Gaza sembari tetap menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga sipil di luar zona pertempuran. Netanyahu menambahkan bahwa mayoritas menteri kabinet meyakini rencana alternatif yang diajukan sebelumnya tidak akan mampu mencapai kekalahan Hamas maupun memulangkan para sandera.

Penolakan dan Peringatan Internasional


Eskalasi ini menuai penolakan di dalam negeri Israel. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyebut langkah tersebut sebagai “langkah yang salah” yang hanya akan membawa lebih banyak pertumpahan darah. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa perluasan operasi militer Israel berisiko “menimbulkan konsekuensi bencana” bagi warga sipil Palestina serta para sandera Israel.

Pemerintah Israel juga membatasi akses bagi organisasi berita internasional, termasuk BBC, sehingga peliputan di wilayah Gaza tidak dapat dilakukan secara bebas.

Reaksi Warga Palestina


Di tengah situasi ini, warga Palestina di Kota Gaza menyampaikan kekhawatiran dan keputusasaan. Mahmoud al-Qurashli mengatakan bahwa hampir seluruh Gaza kini terdesak di bagian barat kota tersebut, dan tidak ada lagi perbedaan apakah wilayah itu akan diduduki atau tidak.

Raed Abu Mohammed, yang tinggal di tenda pengungsian selama lima bulan, menuturkan bahwa meski dilanda penderitaan dan kematian, warga masih berjuang untuk hidup. Ia menuduh Israel membunuh warga sipil, bukan Hamas. Sementara itu, Ismail al-Shawish menggambarkan situasi di Gaza sebagai “semakin buruk” dengan ketiadaan kebutuhan dasar, seraya menyerukan gencatan senjata demi perdamaian.

Ghada Al Kurd, jurnalis Palestina di Kota Gaza, mengaku takut rencana ini akan memaksa warga mengungsi lagi ke tempat yang tidak diketahui. Ia menuturkan bahwa sebagian besar wilayah Gaza telah hancur, masyarakat menderita kelaparan, dan terlalu lemah untuk berjalan. “Kami tidak punya pilihan,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa jika pendudukan terjadi, hal itu akan berlangsung melalui operasi militer dan pengeboman.



Gelombang Protes di Tel Aviv Menyusul Keputusan Kabinet Keamanan Israel


Keputusan kabinet keamanan Israel untuk mengambil alih Kota Gaza memicu gelombang protes besar di Tel Aviv. Aksi penolakan yang terjadi pada malam hari tersebut melibatkan massa di puluhan lokasi, menyuarakan ketidakpuasan terhadap langkah pemerintah.

Seorang jurnalis Israel melaporkan kepada BBC bahwa terdapat “ketidakpuasan besar” di kalangan masyarakat, yang mendorong warga untuk turun ke jalan dan menuntut pembatalan keputusan tersebut.

Kecaman datang dari berbagai pihak, termasuk pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, yang menyebut keputusan itu sebagai “bencana.” Ia menyatakan kekhawatirannya bahwa langkah ini akan memicu lebih banyak kematian, baik di kalangan sandera maupun tentara, serta berpotensi membawa “kehancuran politik.”

Lapid menegaskan bahwa rencana ini “sangat bertentangan dengan pendapat para petinggi militer dan keamanan,” merujuk pada peringatan Kepala Staf Angkatan Darat, Letnan Jenderal Eyal Zamir, yang juga menolak kebijakan tersebut. Menurut Lapid, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah menyerah pada tekanan dari menteri kabinet keamanan sayap kanan ekstrem, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich. Dukungan dari para menteri ultranasionalis ini menjadi krusial bagi kelangsungan koalisi Netanyahu, terlebih mereka sebelumnya mengancam akan keluar dari pemerintahan jika ada kesepakatan dengan Hamas.

Selain protes politik, keluarga para sandera turut menggelar demonstrasi di luar markas militer dan kantor perdana menteri. Mereka menuntut pembatalan rencana tersebut, yang mereka nilai sebagai “hukuman mati” bagi orang-orang yang mereka cintai.

Media Israel juga melaporkan adanya ketidaksepakatan internal antara Netanyahu dan petinggi militer. Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Letnan Jenderal Eyal Zamir, disebut telah memperingatkan bahwa pendudukan Gaza berpotensi menyeret Israel ke dalam “lubang hitam” pemberontakan berkepanjangan, sekaligus meningkatkan risiko bagi para sandera.

Secara keseluruhan, keputusan ini mendapat penolakan keras dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari warga sipil, politisi oposisi, keluarga sandera, hingga sebagian jajaran militer senior.



PM Inggris Sebut Eskalasi Serangan Israel di Gaza Sebagai Langkah yang Salah


Perdana Menteri Kerajaan Bersatu (UK), Sir Keir Starmer, mengecam keputusan kabinet keamanan Israel untuk “lebih meningkatkan serangan” di Gaza. Ia menyebut langkah tersebut sebagai tindakan yang keliru dan mendesak pemerintah Israel untuk segera mempertimbangkannya kembali.

Menurut Starmer, peningkatan eskalasi militer ini “tidak akan mengakhiri konflik atau membantu pembebasan sandera, melainkan hanya akan membawa lebih banyak pertumpahan darah.” Ia menyoroti situasi krisis kemanusiaan yang kian memburuk di Gaza serta kondisi para sandera yang ditahan oleh Hamas dalam “keadaan mengerikan dan tidak manusiawi.”

Starmer mengajukan sejumlah langkah yang dinilainya dapat membawa kemajuan menuju perdamaian, antara lain gencatan senjata, peningkatan distribusi bantuan kemanusiaan, pembebasan seluruh sandera oleh Hamas, dan penyelesaian melalui jalur negosiasi. Ia menegaskan bahwa Hamas “tidak dapat berperan dalam masa depan Gaza” dan harus meninggalkan wilayah tersebut serta melucuti senjata.

Lebih lanjut, Starmer mengungkapkan bahwa Inggris bersama negara-negara sekutunya tengah menyusun rencana jangka panjang untuk mewujudkan perdamaian di kawasan melalui solusi dua negara. Tujuannya adalah menciptakan masa depan yang lebih aman dan sejahtera bagi rakyat Palestina maupun Israel. Namun, ia memperingatkan bahwa tanpa komitmen negosiasi yang tulus dari kedua belah pihak, harapan tersebut “akan sirna.”

“Pesan kami tegas: solusi diplomatik mungkin tercapai, tetapi kedua pihak harus menjauhi jalur kehancuran,” tegasnya.


Wilayah Gaza yang Dikendalikan Militer Israel


Rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang baru disetujui kabinet bertujuan untuk mengerahkan pasukan Israel mengambil alih Kota Gaza—yang terletak di utara wilayah tersebut—untuk pertama kalinya sejak konflik berlangsung. Kota ini menjadi tempat tinggal bagi sekitar satu juta penduduk dan dikelilingi oleh wilayah daratan yang sebagian besar telah berada di bawah kendali Pasukan Pertahanan Israel (IDF) atau menjadi sasaran perintah evakuasi.

Israel mengklaim telah menguasai 75% wilayah Gaza, sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan sekitar 86% wilayah tersebut berada di dalam zona militer atau berada di bawah perintah evakuasi.

Meski demikian, sejumlah wilayah di bagian selatan Gaza, terutama di sepanjang pesisir Laut Mediterania, masih berada di luar pendudukan langsung pasukan Israel. Menurut PBB, wilayah-wilayah ini mencakup kamp-kamp pengungsi, yang kini menampung sebagian besar warga Gaza setelah rumah mereka hancur akibat serangan militer.